Fandom K-Pop Dalam Arus Gerakan Sosial

Jihan Dzahabiyyah
4 min readJun 25, 2020

--

Bucinnya para fandom K-Pop ke idolnya bisa melahirkan gerakan sosial lho… Kalo bucinnya kamu ngapain? :P

Sumber foto: google.com

Baru-baru ini dunia digemparkan oleh gerakan #BlackLivesMatter yang dipicu oleh pembunuhan seorang warga kulit hitam di Amerika Serikat, George Floyd, oleh polisi kulit putih. Gerakan yang berlandaskan rasisme terhadap warga kulit hitam ini meraih simpati masyarakat dari seluruh dunia. Tidak ketinggalan, gerakan ini juga mendapat respon yang cukup baik dari kalangan artis papan atas, termasuk para idol K-Pop. Sejumlah idol K-pop seperti BTS, Taeyang BigBang, Amber f(x), dan CL 2NE1 turut memberikan dukungan terhadap aksi protes #BlackLivesMatters tersebut. Hal ini terlihat dari postingan Instagram para idol tersebut.

Rupanya respon yang dilakukan oleh para idol terhadap gerakan #BlackLivesMatters turut menginspirasi para fans mereka untuk melakukan hal yang sama. Para fans yang tergabung dalam fandom juga turut menggalang dukungan untuk gerakan #BlackLivesMatters. Tidak ketinggalan, mereka juga turut menggalang donasi untuk mendukung gerakan tersebut seperti yang dilakukan oleh idol mereka. Kita ambil contoh kasus fandom BTS yang menamai diri mereka sebagai ARMY. BTS turut menyumbang sejumlah uang kepada Yayasan #BlackLivesMatters. Para ARMY pun turut menggalang donasi untuk menyamai donasi yang idol mereka sumbangkan kepada Yayasan #BlackLivesMatters. Selain menggalang dana, mereka juga turut meramaikan tagar #WhiteLivesMatter di twitter sebagai cara untuk menghilangkan posting rasis yang juga menggunakan label tersebut.

Gerakan sosial yang dilakukan oleh para fandom ini bukan merupakan gerakan yang pertama (dan mungkin juga bukan gerakan yang terakhir mereka lakukan). Pada 2018 lalu, para ARMY juga turut memberikan dukungan lewat tagar #WeWantJustice pada kecelakaan bus yang menewaskan dua orang siswa di Bangladesh. Fandom K-pop juga turut ambil andil dalam gerakan politik di Chili yang memperjuangkan ketimpangan ekonomi, perbedaan upah, dan kegagalan layanan sosial seperti pendidikan dan kesehatan.

Dukungan pada suatu gerakan sosial atau politik yang diberikan oleh para fandom K-Pop kerap kali diframing sebagai suatu dukungan yang “ikut-ikutan” dan naif. Hal ini karena menurut saya dukungan yang diberikan oleh para fandom terkesan “musiman” dan sebagai wujud loyalitas fans terhadap idol. Menurut Goffman, terdapat suatu proses pemaknaan dalam diri individu terhadap suatu fenomena. Pemaknaan ini berdasarkan bagaimana tanda-tanda dari luar individu ditafsirkan oleh dirinya. Selanjutnya individu tersebut mengaitkan indikasi tanda tersebut kepada dirinya dan pengalaman yang ia pernah rasakan.[1] Para fandom akan merasa perlu mendukung gerakan sosial tersebut lantaran berkenaan dengan dukungan yang idol mereka berikan terhadap gerakan tersebut. Akhirnya gerakan sosial yang idol mereka dukung memiliki keterkaitan dengan diri para fandom. Gerakan sosial yang dilakukan oleh para fandom akan tambah massif ketika dibarengi solidaritas sosial sesama fandom yang merupakan suatu identitas dari fandom tersebut. Solidaritas ini terbentuk secara organik atas dasar kesamaan fans idol.

Proses penggalangan dukungan yang dilakukan oleh para idol dapat kita jabarkan sebagai berikut:

Mulanya idol melakukan aggregate frame (pendefinisian isu) terhadap suatu gerakan lewat unggahan di media sosial para idol. Lewat unggahan tentang isu gerakan di media sosial para idol, para fans akan mengetahui dan menyadari bahwa ada sebuah gerakan yang patut diperjuangkan.

Selanjutnya para idol mengajak para fansnya untuk berbuat sesuatu untuk gerakan tersebut. Hal ini disebut sebagai consensus frame. Dalam upaya melakukan perluasan dan penyebaran gerakan, para idol mengajak para fans mereka untuk meramaikan tagar di media sosial dan melakukan penggalangan donasi untuk mendukung gerakan terssbut. Penggalangan donasi dilakukan dengan mencantumkan tautan donasi pada akun media sosial mereka. Selain itu para idol juga menggalangan donasi dengan melakukan konser amal secara langsung di Youtube atau media sosial lain. Tautan penggalangan dana juga disematkan dalam keterangan konser amal tersebut. Hal ini mereka lakukan agar para fans mereka semakin menyadari pentingnya gerakan sosial ini dilakukan dan diperjuangkan. Salah satu contoh penyebaran gerakan adalah pada penggalangan dana untuk penanggulangan Covid-19 yang dilakukan sejumlah artis-artis papan atas lewat kanal Youtube mereka. Tidak hanya artis K-Pop, artis Barat pun juga turut melakukan konser amal untuk mengumpulkan donasi penanggulangan Covid-19.

Akhirnya para fans melakukan tindakan kolektif untuk gerakan tersebut. Tindakan ini dapat berupa ikut melakukan donasi dan atau meramaikan tagar di media sosial yang berkaitan dengan isu gerakan yang sedang diperjuangkan.

Kuatnya gerakan sosial yang dilakukan oleh para agen K-Pop — para idol dan para fansnya — juga dilandaskan pada moralitas mereka sebagai masyarakat dunia. Menurut Durkeheim, moralitas merupakan suatu fakta sosial yang bersifat memaksa individu. Hal ini dapat menggantikan kepentingan diri mereka.[2] Pentingnya untuk mendukung gerakan #BlackLivesMatter yang dilakukan oleh para idol K-Pop didasarkan para moralitas mereka sebagai warga dunia, apalagi fans K-Pop kini sudah mendunia. Sifat simpati yang diberikan oleh para idol kepada gerakan ini juga sebagai sarana para idol mengakomodasi fans mereka yang turut tergabung dalam gerakan sosial #BlackLivesMatters.

Namun saya berpandangan bahwa gerakan sosial yang dilakukan oleh para fandom K-pop ini merupakan produk dari budaya pop. Hal ini karena gerakan ini muncul akibat pengkultusan para idol sebagai trend center. Di satu sisi memperjuangkan gerakan anti rasisme merupakan hal yang positif di mata masyarakat guna mewujudkan kehidupan yang setara bagi semua ras, namun di sisi lain gerakan ini pula merupakan wujud dari loyalitas mereka terhadap idol K-pop. Akhirnya propaganda para idol dalam memperjuangkan gerakan rasisme ini juga dapat digunakan untuk mendulang dukungan agar popularitas mereka terdongkrak. Sekali dayung dua tiga pulau terlampaui. Ah, kalau cuman nyumbang $1.000.000.000 mah bagi mereka kecil. Ntar juga balik modal. Uppss…

“HEH! SUUDZON BANGET SIH LO, JELATA”

Iyee iyee maap. Sosiolog mah orangnya kudu suudzonan (baca: skeptis) biar dapet bahan penelitian -__-

[1] George Ritzer, 2012, Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Terakhir Postmodern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 646.

[2] Ibid, George Ritzer, hal. 137

--

--