Saya Kehilangan Selera untuk Menonton Film Romansa

Jihan Dzahabiyyah
5 min readApr 16, 2024

--

Libur lebaran tahun ini saya habiskan dengan menonton banyak film dan serial tv. Jumlah yang cukup banyak untuk membuat otak saya mabok film, sekitar 5 film atau 7 episode per hari. Genre yang saya tonton pun beragam, mulai dari horror, petualangan, teka-teki, slice of life, peperangan, dan lain sebagainya kecuali romansa, saya rasa.

Saya rasa ada yang mulai bergeser dari selera saya. Dulu, saya adalah pengagum bacaan dan film-film romantis. Rasanya senang sekali menonton dan mengetahui akhir cerita yang bahagia. Saya menikmati proses romantis dalam film, seperti menghabiskan waktu bersama dengan mengobrol, menyusuri kota, menatap langit bersama, makan malam berdua, dan lain sebagainya. Hal tersebut terasa nyata sampai-sampai sebenarnya mudah saja untuk dilakukan di dunia nyata.

Aspirasi akan kegiatan-kegiatan romantis tersebut bertahan dalam benak saya sampai saya menonton salah satu episode dalam serial tv yang bertajuk House (2004–2012). Tokoh utama tersebut pada season 7 akhirnya punya pacar. Pacarnya memimpikan kondisi ideal yang ia inginkan di masa depan ketika nantinya masih berpacaran dengan si tokoh utama. Dalam mimpinya si pacar, hal ini terasa janggal. Si tokoh utama dalam mimpi pacarnya berujar “Perempuan bisa memimpikan apa pun.” Sontak si pacar langsung bangun dari tidurnya.

Sepenggal dialog tersebut membuat saya berpikir. Ya, perempuan memang punya aspirasi kebahagiaan emosional dalam cinta erotis dengan laki-laki. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut sejauh ini menurut saya.

Serial TV House Season 7 (2004–2012)

Yang salah adalah diri saya yang kerap kali — oh, tidak. Saya harus akui sering — terjebak dalam ekspektasi cinta romantis seperti di film-film ketika akhirnya hendak memulai menjalin hubungan dengan laki-laki. Saya harus ceritakan beberapa tetapi saya tidak akan menyebutkan nama.

Kasus Pertama:

Waktu itu saya sedang dekat dengan seorang teman laki-laki. Dia lebih tua beberapa tahun dari saya. Tidak terlalu jauh. Kami beberapa kali pergi bersama. Namun tidak terlalu intense. Kami tidak pernah pergi hanya sekedar untuk jalan-jalan. Pasti ada tujuan dan urusan yang jelas.

Sampai akhirnya suatu hari kami pergi ke tempat yang mirip dengan salah satu film romantis yang pernah saya tonton. Saya ingin sekali merasakan nuansa seperti di film itu bersama dia. Akhirnya saya mengajaknya melakukan kegiatan seperti yang ada di film tersebut (bukan kegiatan yang aneh dan tidak senonoh).

Namun respon dia saat itu tidak bagus, cenderung menghindar. Akhirnya saya kecewa dan merasa melewatkan sesuatu hahaha… Hubungan kami tidak lanjut lebih jauh karena saya merasa ini salah. Harusnya terjadi seperti di film itu dan nantinya akan berakhir seperti di film itu juga. Bodoh sekali saya saat itu hahaha…

Kasus Kedua:

Saya sempat bertemu dan dekat dengan laki-laki yang umurnya cukup jauh dari saya, sekitar di atas lima tahun lebih tua dari saya sepertinya. Saya tidak terlalu ingat jelasnya karena wajahnya terlihat lebih muda dari usianya. Kami punya banyak kesamaan selera dalam budaya pop. Bahkan dia bilang bahwa saya adalah versi perempuan dirinya. Saya akui itu benar. Kami cukup cepat klik. Gila, saya langsung menaruh hati pada dia.

Kami jalan-jalan seharian. Rasanya, menyenangkan. Banyak hal yang kami bincangkan. Kami juga banyak setuju untuk banyak hal. Tempat-tempat yang kami kunjungi sangat tidak biasa untuk sebuah “dating”. Sepanjang perjalanan, saya mengasosiasikan perjalan ini seperti salah satu film romantis favorit saya, Before Sunrise (1995). Faktanya, kami memang dua orang asing yang baru bertemu belum lama. Sama seperti skenario film tersebut.

Di akhir perjalanan pun perpisahannya cukup dramatis. Dia mengejar penerbangan dini hari jadi hari itu memang hari yang harus dimanfaatkan dengan baik. Bedanya, setelah perjalanan itu kami masih berkontak, tidak seperti Jess dan Celine dalam Before Sunrise yang akhirnya putus kontak cukup lama hahaha…

Salah satu adegan jalan-jalan Jess dan Celine dalam Before Sunrise (1995)
Jess dan Celine sedang berbincang di dalam trem dalam Before Sunrise (1995).

Namun, karena jarak yang agak jauh — yang saya maksudkan jarak secara fisik dan usia — kami sudah tidak saling terhubung lagi dan hubungan sangat singkat ini berakhir. Mungkin dia sudah menikah. Entah lah. Namun dengan kemungkinan tersebut saya jadi berimajinasi apakah kami akan seperti Jess dan Celine di Before Sunset (2004) ketika bertemu suatu hari nanti? hahaha….

Jess dan Celine kembali bertemu setelah sekian tahun dalam Before Sunset (2004).

Cukup dua kasus yang saya ceritakan. Masih banyak kasus lain. Saya sengaja tidak menyebutkan di mana saya bertemu mereka untuk kerahasiaan. Lagi pula tidak terlalu penting hahaha…

Dari kedua kasus tersebut, juga kasus-kasus lain yang saya sebutkan, tidak ada yang akhirnya mengantarkan saya ke sebuah hubungan yang serius. Hal ini akhirnya membuat saya mempertanyakan diri saya.

Apakah mungkin saya bisa bertemu seseorang untuk menjalin hubungan romantis?

Apakah saya butuh sebuah hubungan romantis? Kalau sudah dapat, lantas apa?

Apakah romantisme selama ini hanyalah sebuah aspirasi? Bisakah ia dimanifestasi?

Apa yang membuat orang-orang bertahan dan mempertahankan romantisme? Apakah romantisme adalah suatu perasaan yang selalu indah?

Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang membuat saya mulai ragu dengan romantisme sebagai suatu hal yang konkret.

Saya Menjadi Aromantis?

Premis-premis di atas mungkin membuat anda berpikir bahwa saya sekarang menjadi seorang yang aromantis — orang yang tidak tertarik dengan hal-hal yang romantis — karena kecewa dengan hal-hal romantis. Dalam pikiran saya, romantisme masih sebuah gagasan. Ibu saya pun bilang begitu.

“Kamu tunjukkan ke orang itu kalau kamu suka sama dia. Coba lebih peduli,” ujarnya.

Baik. Saya sudah coba beberapa kali. Saya tanya kabarnya. Saya buatkan kue favoritnya. Saya dengarkan ceritanya. Saya berusaha tetap berkabar. Saya berusaha peduli karena memang saya peduli. Itu terlihat romantis di film-film, setidaknya menurut saya. Namun terkesan menggelikan dan aneh ketika orang yang tidak kamu sukai melakukan hal tersebut kepada kamu di dunia nyata, setidaknya demikian menurut saya.

Namun, saya baru saja iseng mencoba sebuah tes bertajuk “Apakah Aku Aromantis” dan hasilnya adalah…

Hasil Tes “Apakah Aku Romantis”.

Saya setengah percaya setengah tidak. Sepertinya upaya-upaya menjadi romantis sudah saya coba lakukan. Pasti ada yang salah. Pasti ada yang keliru dari cara saya. Ke depan saya coba cari tau dan perbaiki.

Intinya adalah saya ingin mengungkapkan bahwa cerita di film-film romantis adalah konstruksi gagasan romantis dalam pikiran seseorang, setidaknya saya. Hal tersebut mengganggu stabilitas perasaan sampai-sampai saya berpikir kalau belum seperti yang ada di film itu belum romantis dan berujung kekecewaan. Akhirnya, saya pun kecewa dengan film romantis dan untuk saat ini enggan menontonnya.

Selain pada film, efek ini juga terasa ketika saya sedih saat mendengar lagu-lagu romantis, utamanya lagu Taylor Swift yang liriknya cukup dalam. Juga lagu-lagu Tulus, Sheila On 7, Fariz RM, Judika, dan lainnya. Perasaan seperti tercabik-cabik ekspektasinya dan terluka dalam batinnya karena syair tersebut bagaikan pungguk merindukan bulan. Tak sampai.

Arrrghhh… Pokoknya dengan ini saya mendeklarasikan diri untuk puasa dari film romantis.

Sekian.

--

--